HUBUNGAN FILSAFAT EKSISTENSIALISME DALAM DUNIA PENDIDIKAN
06/12/14
MAT 3/A-3
Filsafat Eksistensialisme
dikembangkan oleh ahli filsafat asal Jerman, Martin Heidegger (1889-1976),
merupakan bagian filsafat dan akar metodologinya berasal dari metodologi
fenomenologi yang dikembangkan oleh hussel (1859 – 1938). Kemunculan
eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Soren Kierkegaard dan Nietzche.
Soren Aabye
Kierkegaard (lahir di Kopenhagen, Denmark, 5 Mei 1813 – meninggal di
Kopenhagen, Denmark, 11 November 1855 pada umur 42 tahun) adalah seorang filsuf
dan teolog abad ke-19 yang berasal dari Denmark. Kierkegaard menentang keras
pemikiran Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah karena Hegel
meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel) mengutamakan idea yang
sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu
“aku umum”, tetapi sebagai “aku individual”. Inti pemikirannya adalah
eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi,
manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita
menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari
manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap
kemungkinan. manusia selalu berkembang, berproses ke arah yang lebih baik.
Kesadaran akan diri merupakan kata kunci, karena melalui kesadaran akan dirinya
inilah manusia berproses ke arah yang lebih baik. Kesadaran akan diri muncul
bila manusia memiliki kebebasan menentukan. Kierkegaard ingin menjawab
pertanyaan “bagaimanakah aku menjadi seorang diri ?”, dasar pertanyaan tersebut
mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu sistem yang umum
tetapi berada dalam eksistensi individu yang konkret.
Menurut Friedrich
Nietzsche, manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan
untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi
manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak.
Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan
menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.Pandangan
tersebut tentunya bukan suatu yang muncul dengan sendirinya, melainkan sesuatu
yang lahir ketika dunia mengalami krisis eksistensial, ketika manusia melupakan
sifat individualisnya. Kierkegaard berusaha untuk menemukan jawaban untuk
pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika
memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan.
Dari kierkegaard
kemudian diteruskan oleh Nitzche (1844-1900), pemikiran filsafat Nitzche
terarah pada upaya melahirkan ide yang bisa menjadi jalan keluar untuk menjawab
pertanyaan filosofisnya, yaitu “bagaimana cara menjadi manusia unggul
(ubbermench)”. Jawabannya adalah manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai
keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani.
Sebagai
pandangan baru, filsafat eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus
mendeskripsikan eksistensial dan pengalaman manusia dengan metodologi
fenomenologi atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi
terhadap materialism dan idealisme. Pendapat materialism terhadap manusia
adalah manusia merupakan benda dunia, manusia adalah materi, manusia adalah
sesuatu yang ada tanpa menjadi subyek. Pandangan manusia menurut idealisme :
manusia hanya sebagai subyek atau hanya sebagai suatu kesadaran.
Eksistensialisme berkeyakinan situasi manusia selalu berpangkalkan eksistensi
sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang konkret.
Bagi
eksistensialisme, individu bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa
memikirkan secara mendalam, mana yang benar dan mana yang tidak benar.
Sebenarnya, bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak
benar, tetapi seorang eksistensialisme dasar bahwa kebenaran bersifat relative,
karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya
benar.
Sementara, dalam
ontologis, eksistensialisme banyak mempersoalkan makna keberadaan manusia yang
diyakini mesti dihadirkan lewat kebebasan. Oleh karena itu, pertanyaan utama
eksistensialisme nyaris selalu bersinggungan dengan persoalan kebebasan; mulai dari
apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu? eksistensialisme
menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan
tersebut.
Sementara, di
perancis eksistensialisme dikenal lewat Jean Paul Sartre. Jean Paul Sartre
(1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905 di Paris dan meninggal di Paris, 15
April 1980 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ia
berasal dari keluarga Cendikiawan. Ayahnya seorang Perwira Besar Angkatan Laut
Prancis dan ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa modern di
Universitas Sorbone. Ia dianggap yang mempopulerkan aliran eksistensialisme.
Sartre dengan diktumnya “human is condemned to be free”. Manusia demikian
menurut Sartre, dikutuk untuk bebas. Dengan kebebasannya itulah kemudian
manusia bertindak. Dalam sisi ini, pertanyaan yang sering muncul sebagai akibat
dari adanya kebebasan eksistensialis : sejauh mana kebebasan manusia itu? Atau,
sesuatu yang dalam istilah dikenal “orde baru”. Apakah eksistensialisme
mengenal kebebasan yang bertanggung jawab? Para penganut eksistensialisme
meyakini kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia. Maka, batasan
kebebasan setiap individu adalah kebebasan individu lain.
Namun, menjadi
eksistensialis bukan harus menjadi seseorang yang lain daripada yang lain,
sebaliknya menjadi sadar bertapa keberadaan dunia selalu menjadi sesuatu yang
berada di luar kendali manusia. Meski hal itu bukan berarti membuat sesuatu
yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi eksistensialisme.
Fokus filsafat eksistensialis adalah dalam aksiologi yang
membedakannya dengan filsafat tradisional yang mementingkan metafisika. Dapat
dikatakan bahwa “metafisika” eksistensialisme diwakilkan dengan kata
“eksistensi” dan konsep epistemologinya
adalah “pilihan”. Oleh karena itu kedua konsep ini membawa manusia
eksistensialis memfokuskan diri pada aktivitas kehidupan dan perhatian
filsafatnya diikat dalam lingkup aksiologi individual sebagai seorang penentu
eksistensialis.
Jika manusia ingin menjadi benar-benar autentik, maka ia
harus hidup secara bertanggung jawab termasuk dalam membuat keputusan. Akibat
yang tidak disenangi bagi seseorang yang bertindak di luar aturan etik tidak
begitu dipermasalahkan dalam pandangan eksistensialis. Adalah penting untuk
berbuat tanpa memperhatikan akibat-akibat ini, tetapi bukan berarti membenarkan
tindakan yang tidak bertanggung jawab.
Kaum eksistensialis melihat tidak ada ketegangan setelah kematian. Lawan
kematian adalah kehidupan, dan kehidupan bagi mereka mengharuskan derajat ketegangan sebagai seorang
pribadi karena pribadi tersebut bertindak
berdasar hukum etiknya sendiri.
Pandangan eksistensialis tentang estetika dapat
digambarkan sebagai sebuah penolakan terhadap standar umum. Masing-masing
individu adalah pengadilan tertinggi
dalam memandang tentang apa yang indah.
Tidak seorang pun yang dapat membuat keputusan bagi individu yang lain.
Apa yang indah bagi saya adalah indah dan siapa yang dapat menentang saya?.
Dengan demikian keakuan sangat ditonjolkan baik dalam etika maupun dalam
estetika. Ukuran perbuatan adalah
kebebasan memilih dengan konsekuensi pertanggungjawaban atas pilihan tersebut.
Membuat sebuah
pilihan atas dasar keinginan sendiri dan sadar akan tanggung jawabnya di masa
depan adalah inti eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan
terjun ke berbagai profesi seperti guru atau lainnya tetapi yang dipersoalkan
oleh eksistensialisme apakah kita menjadi guru atau lainnya merupakan keinginan
orang tua atau kita sendiri.
Adapun secara
umum, eksistensialisme membagi problem filsafat menjadi empat masalah filosofis
: eksistensi manusia, bagaimana bereksistensi secara aktif, eksistensi manusia
adalah eksistensi yang terbuka dan belum selesai, serta pengalaman
eksistensial. Sedangkan Sartre membagi eksistensialisme ke dalam dua cabang,
yaitu eksistensialisme kreistiani dan eksistensialisme ateis.
Filsafat
eksistensialisme membahas cara pengada-pengada, khususnya manusia. Sesuatu oleh
Sartre terbagi menjadi dua, yaitu l’etre – en – soi (ada – dalam – diri) dan
l’etre – pour – soi (berada – untuk – diri). L’etre – en –soi selalu menjadi
keberadaan yang an –sich, ada yang bulat, padat, baku, dan tertutup. Entre – en
– soi mentaati prinsip what it is.
Perubahan pada
benda yang ada dalam diri itu disebabkan oleh sebab-sebab yang telah ditentukan.
Maka, benda entre – en – soi terdeteminasi, tidak bebas, dan perubahannya
memuakkan (nauseant). Benda yang berada-dalam-diri ada di sana tanpa alasan apapun,
tanpa alasan yang kita berikan padanya.
Adapun, l’etre –
pour – soi adalah cara ada yang sadar. Satu-satunya makhluk yang mengada secara
sadar adalah manusia. Etre – pour – soi tidak memiliki prinsip identitas karena
adanya terbuka, dinamis, dan aktif oleh karena kesadarannya. Disini, manusia
mesti bertanggung jawab atas keberadaannya; bahwa “aku” adalah frater, bukan
bruder, bahwa “aku” imam tarekat, bukan imam diosesan; bahwa “aku” awam, bukan klerus;
bahwa “aku” dosen, bukan mahasiswa; bahwa “aku” mahasiswa, bukan pengamen.
Manusia sadar bahwa dia bereksistensi.
Dalam
membicarakan kesadaran, Sartre membagi menjadi dua, yaitu kesadaran
prareflektif dan kesadaran reflektif. Kesadaran prafeflektif adalah kesadaran
aktivitas harian. Menurut Sartre, tidak ada “aku” dalam kesadaran prareflektif.
Sedangkan, kesadaran adalah kesadaran akan diri. Selama seseorang
berkonsentrasi, ia mengalami kesadaran reflektif.
Kesadaran ini
membuat manusia mampu membayangkan apa yang mungkin terjadi dan apa yang bisa
ia lakukan. Misalnya, ketika ia sadar bahwa akan realitas hidupnya menurut
Sartre seseorang akan dibawa pada sesuatu yang dinamainya “pusaran
kemungkinan”. Di titik inilah kebebasan menurut Sartre menjadi sesuatu hal yang
terkutuk.
Singkatnya,
eksistensialisme selalu menjadi pemikiran filsafat yang berupa untuk agar
manusia menjadi dirinya, mengalami individualitasnya. Eksistensi berarti
berdiri sendiri sebagai diri sendiri. Menurut Heideggard, “Das wesen des daseins
liegh in seiner Exixtenz”. Da – sein tersusun dari dad dan sein. Dan berarti di
sana, sein berarti berada. Artinya, manusia sadar dengan tempatnya. Menurut
Sartre, adanya manusia itu bukanlah etre, melainkan a etre – manusia itu tidak
hanya ada, tetapi dia selamanya harus membangun adanya, adanya harus dibentuk
dengan tidak henti-hentinya.
Menurut Parkay
(1998), aliran eksistensialisme terbagi dua sifat, yaitu teistik (bertuhan) dan
arteistik. Menurut eksistensialisme, ada dua jenis filsafat tradisional, yaitu
filsafat spekulatif dan filsafat skeptif. Filsafat spekulatif menyatakan bahwa
pengalaman tidak banyak berpengaruh pada individu. Filsafat skeptif menyatakan
bahwa semuanya pengalaman itu adalah palsu, tidak ada sesuatu yang dapat kita
kenal dari realita. Menurut mereka, konsep metafisika adalah sementara.
Dalam aliran
filsafat Eksistensialisme mempunyai ciri-ciri utama antara lain sebagai
berikut:
a. Penolakan untuk dimasukkan dalam aliran
filsafat tertentu.
b. Tidak mengakui adekuasi sistem filsafat dan
ajaran keyakinan (agama)
c. Sangat tidak puas dengan sistem
filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademis dan jauh dari kehidupan.
Individualisme
adalah pilar sentral dari eksistensialisme. Kaum eksistensialis tidak mengakui
sesuatu itu sebagai bagian dari tujuan alam raya ini. Hanya manusia, yang
individual yang mempunyai tujuan.
Prinsip-prinsip
Aliran Eksistensialisme adalah sebagai berikut:
a.
Aliran
ini tidak mementingkan metafisika (Tuhan).
b.
Kebenaran
lebih bersifat eksistensial daripada proporsional atau faktual.
c.
Aliran
ini memandang individu dalam keadaan tunggal selama hidupnya dan individu hanya
mengenai dirinya dalam interaksi dirinya sendiri dalam kehidupan.
d.
Jiwa
aliran ini mengutamakan manusia, memperkembangkan eksistensi pribadinya atas
alasan bahwa manusia akan mati.
Secara relatif, eksistensialisme tidak begitu dikenal
dalam dunia pendidikan, tidak menampakkan pengaruh yang besar pada sekolah. Sebaliknya, penganut eksistensialisme kebingungan
dengan apa yang akan mereka temukan melalui pembangunan pendidikan. Mereka menilai bahwa tidak ada yang disebut
pendidikan, tetapi bentuk propaganda untuk memikat orang lain. Mereka juga
menunjukkan bahwa bagaimana pendidikan memunculkan bahaya yang nyata, sejak
penyiapan murid sebagai konsumen atau menjadikan mereka penggerak mesin pada
teknologi industri dan birokrasi modern. Sebaliknya pendidikan tidak membantu
membentuk kepribadian dan kreativitas, sehingga para eksistensialis mengatakan
sebagian besar sekolah melemahkan dan
mengganggu atribut-atribut esensi kemanusiaan.
Mereka mengkritik kecenderungan masyarakat masa kini dan
praktik pendidikan bahwa ada pembatasan realisasi diri karena ada tekanan
sosio-ekonomi yang membuat persekolahan hanya menjadi pembelajaran peran
tertentu. Sekolah menentukan peran untuk kesuksesan ekonomi seperti memperoleh
pekerjaan dengan gaji yang tinggi dan menaiki tangga menuju ke kalangan ekonomi
kelas atas; sekolah juga menentukan tujuan untuk menjadi warga negara yang
baik, juga menentukan apa yang menjadi kesuksesan sosial di masyarakat. Siswa
diharapkan untuk belajar peran-peran ini dan berperan dengan baik pula. Dalam
keadaan yang demikian, kesempatan bagi pilihan untuk merealisasikan diri secara
asli dan autentik menjadi hilang atau
sangat berkurang. Keautentikan menjadi begitu beresiko karena tidak dapat
membawa pada kesuksesan sebagaimana didefinisikan oleh orang lain. Di antara
kecenderungan masa kini yang begitu menyebar cepat tetapi sangat sulit
dipisahkan adalah mengikisnya kemungkinan keautentikan manusia karena adanya
tirani dari yang rata-rata (tyranny of the average). Tirani dari
aturan yang diktatorial dan otoriter, rejim dan institusi adalah bentuk nyata dari penindasan dan paksaan. Tirani
dari yang rata-rata tampak seolah demokratis tetapi dalam kenyataannya
adalah gejala penyakit pikiran massa dan pilihan-pilihan nilainya.
Dalam masyarakat yang berorientasi konsumsi, produk
barang dan jasa dibuat dan dipasarkan untuk membentuk kelompok konsumen
terbesar. Media massa, seni dan hiburan juga dirancang sebagai produk yang akan
menarik lebih banyak audiens. Agen-agen ini yang disebut sebagai agen
pendidikan informal merefleksikan dan menciptakan selera populer. Dalam
masayarakat yang seperti ini, penyimpangan dari yang rata-rata atau kebanyakan
orang tidak akan diterima baik. Keunikan menjadi begitu mahal sehingga hanya
dapat dinikmati oleh orang-orang istimewa, yaitu kaum elit, atau oleh orang-orang yang tidak populer disebut
masyarakat marjinal. (Gutek,
1988:123-124)
Pandangan tentang
pendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam Existensialisme and
Education, bahwa "Eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan
pendidikan dalam segala bentuk. Oleh sebab itu eksistensialisme dalam hal ini
menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang.
Menurut
eksistensialisme, pengetahuan kita tergantung kepada interprestasi tentang
realitas. Pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan merupakan alat untuk
memperoleh pekedaan atau karier anak, melainkan pengetahuan itu dapat dijadikan
alat perkembangan dan alat pemenuhan diri ini merupakan teori pengetahuan dan
kebenaran eksistensialisme yang dikemukakan oleh Kneller.
Implementasi
aliran eksistensialisme tehadap pendidikan antara lain sebagai berikut:
a.
Aliran
ini mengutamakan perorangan/ individu.
b.
Memandang
individu dalam keadaan tunggal selama hidupnya.
c.
Aliran
filsafat ini percaya akan kemampuan ilmu untuk memecahkan semua persoalannya.
d.
Aliran
ini memabatasi murid-murinya dengan buku-buku yang ditetapkan saja.
e.
Aliran
ini tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk.
Kalangan
Eksistensialisme “terganggu” akan apa yang mereka dapatkan pada kemapanan
pendidikan. Mereka dengan segera menegaskan bahwa banyak dari apa yang disebut
pendidikan sebenarnya tidaklah apa – apa kecuali propaganda yang digunakan
untuk memikat audiens. Mereka juga mengungkapkan bahwa banyak dari apa yang
dewasa ini dianggap pendidikan sejati adalah sesuatu yang membahayakan, karena
ia menyiapkan peserta didik untuk konsumerisme atau menjadikannya sebagai
tenaga penggerak dalam mesin teknologi industrial dan birokrasi modern. Bukan
malah mengembangkan individualitas dan kreativitas, keluh kalangan
eksistensialis, banyak pendidikan justru memusnahkan sifat – sifat kemanusiaan
yang pokok tadi.
Menurut aliran
eksistensialisme, tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar
mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Memberikan bekal
pengalaman yang luas dan komprehensif kepada para siswa dalam semua bentuk
kehidupan.
Eksistensialisme
sebagai filsafat sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara
pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula
ia bertanggung jawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan,
Sikun Pribadi (1971) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan erat
sekali dengan pendidikan, karena keduanya bersinggungan satu dengan yang
lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan anatar
manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan. Pusat pembicaraan eksistensialisme
adalah “keberadaan” manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
Kaum
eksistensialisme menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu
berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu
tingkatan kepekaaan personal yang disebut Greene “kebangkitan yang luas”.
Kurikulum ideal adalah kurikulum yang
memberikan para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka
untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka
sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut
pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih
penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu
akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang
dapat memenuhi tuntutan di atas adalah mata pelajaran IPA, sejarah, sastra,
filsafat, dan seni. Bagi beberapa anak, pelajaran yang dapat membantu untuk
menemukan dirinya adalah IPA, namun bagi yang lainnya mungkin saja bisa
sejarah, filsafat, sastra, dan sebagainya.
Dengan mata
pelajaran tersebut, siswa akan berkenalan dengan pandangan dan wawasan para
penulis dan pemikir termasyur, memahami hakikat manusia di dunia, memahami kebenaran
dan kesalahan, kekuasaaan, konflik, penderitaan, dan mati. Kesemuanya itu
merupakan tema-tema yang akan melibatkan siswa baik intelektual maupun emosional.
Menurut Kneller
(1971), konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan dari pandangan
Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan antara pribadi
dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya.
Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa
menyerah kepada kehendak guru atau pada pengetahuan yang tidak fleksibel, dimna
guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya
buber mengemukakan bahwa guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang
instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur maka ia hanya akan merupakan
perantara yang sederhana antara materi pelajaran dan siswa. Seandainya ia hanya
dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan dan siswa akan menjadi
hasil dari transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga
manusia akan menjadi alat dan produk dari pengetahuan tersebut.
Dalam proses
belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan. Untuk
menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka
pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari
pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa
sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan
guru tidak merupakan suatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya,
melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.
Menurut
pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam semesta
berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya. Oleh karena
itu, dengan kebebasan yang kita miliki, masing-masing dari kita harus commit
sendiri pada penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan
oleh Maxine Greene (Parkay, 1998), seorang filosof pendidikan terkenal yang
karyanya didasarkan pada eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan
kita, menjelaskan situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut
pendirian bersama”. Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling
bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses
edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa
memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka
menemukan makna dari kehidupan mereka.
Sumber :
Muhmudayeli.
Filsafat Pendidikan. PT Refika Aditama. Bandung. 2011
Sadulloh, Uyoh.
Pengantar Filsafat Pendidikan. ALFABETA,CV. Bandung. 2004
Hedrik, R Jan.
Pengantar filsafat. Kanisius. Yogyakarta. 1996
Poedjawijatna.
Pembimbing Ke Arah Alam filsafat. Pustaka Sarjana. 1980
http://ujeberkarya.blogspot.com/2010/01/filsafat-eksistensialisme.html
http://indramunawar.blogspot.com/2009/03/aliran-eksistensialisme-filsafat-masa.html
http://khaerulhuda.wordpress.com/2012/02/07/aliran-eksistensialisme
http://ekameliyakin.wordpress.com/2013/06/26/aliran-eksistensialisme-filsafat-pendidikan/
Label: Kuliah
0 comments