Nasehat Buat Orangtua, Pikirkanlah Ini Sebelum Pamer Anak

09/09/17

bl-on-de:  ☼ ☾ 
"Kalau anakku sih masuk universitas negeri, ya!" "Anakku masuk kelas akselerasi, dong!" "Deuh, anakku udah bisa melakukan banyak hal!" .
,
Sahabat Ummi, kerap kali sebagai orangtua, kita kadang tergoda untuk show off atau memamerkan keberhasilan anak kita entah itu dari sisi pendidikan, pekerjaan, bahkan hafalan. Apapun memang bisa jadi bahan pamer, sih. Padahal kita sendiri sebenarnya juga sadar bahwa hal tersebut lebih banyak mudharatnya daripada manfaat. .
Beberapa mudharat ketika kita hobi memamerkan anak misalnya: .
1. Menimbulkan rasa iri dari orang yang mendengarnya meskipun itu hanya dalam hati . Ada banyak cara untuk menginspirasi orang lain yang tidak terkesan pamer. Orang lain justru akan muak jika kita selalu bercerita "kalau anakku ... kalau anakku ..." Kapan kita bertanya tentang anak orang lain kalau begitu? Bukankah dunia ini isinya tidak hanya kita saja? Seperti misalnya, daripada selalu bercerita anak kita rangking satu dan masuk sebagai siswa berprestasi akan lebih baik jika langsung buka les-lesan gratis bagi anak-anak sekitar rumah yang kurang beruntung. Yang kedua lebih terasa nyata dibandingkan yang pertama. Ibarat pohon, sikap yang pertama adalah pohon rimbun tak berbuah sedangkan yang kedua berbuah lebat. Mana yang lebih bermanfaat? Yang hanya sekadar untuk pamer-pameran semata atau yang bisa bermanfaat untuk sekitar? .
.
2. Justru menjadi beban untuk diri kita sendiri
Tidak selamanya anak kita berada pada posisi puncak, ada kalanya mungkin di tengah atau di bawah. Tidak selamanya anak kita mendapatkan peringkat pertama, ada kalanya mendapat peringkat belasan atau bahkan tidak sama sekali. Wajar-wajar aja sih sebenarnya, namanya juga hidup, jatuh bangun kan biasa. Tapi hal tersebut akan menjadi tidak biasa bagi yang suka pamer karena ia akan terus berusaha mempertahankan posisi teratas entah dengan cara apa saja agar tidak jadi bahan olokan. Coba jika tidak biasa pamer, mungkin tidak akan setertekan itu.  


3. Di atas langit masih ada langit
Kalau toh anak kita memang cerdas, masih banyak di luar sana yang jauh lebih cerdas dan sikap orang tuanya tidak lebay. Seperti kata pepatah, "di atas langit masih ada langit,".
.
4. Kurang menghargai orang lain yang "berbeda" "Anakku dong masuk jurusan itu. Yang masuk jurusan itu emang yang pintar-pintar," "Kok masuk sekolah itu, emang ada masa depannya?" "Kok masuk jurusan anu, enggak diterima di jurusan itu ya?" Setiap anak itu unik dan berbeda. Sebenarnya, setiap orangtua sudah paham ini, sih. Hanya saja dalam praktiknya, orangtua seolah masih sulit menerima yang berbeda, salah satunya dengan merasa apa yang dipilih anaknya jauh lebih baik daripada apa yang dipilih anak orang lain. Sikap fanatik seperti ini hanya akan semakin menunjukkan bahwa orangtua masih bersikap kekanak-kanakan.
.
Sahabat Ummi, mengutip kata-kata Einstein (dengan sedikit edit) bahwa setiap anak itu istimewa dan jenius, namun jika anak yang ahli berenang dan kurang ahli berhitung dipaksa untuk berhitung sebagai tolak ukur kecerdasan, maka selamanya anak yang memiliki potensi di bidang renang itu akan menganggap dirinya tidak bisa apa-apa. So poor. .
Semoga kita bisa menjadi orangtua yang bijak. Anak kita cerdas, anak teman kita juga cerdas, di bidang masing-masing yang nanti bisa dikolaborasikan, bukan dibandingkan. .
.
Profil Penulis:
Miyosi Ariefiansyah atau @miyosimiyo pemilik www.rumahmiyosi.com adalah istri, ibu, penulis, dan pembelajar. #islamiQpedia #islamiQnews
 

Label:





0 comments

Posting Komentar


Kio